Jakarta – Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa mereka telah mengeluarkan Surat Izin Praktik (SIP). Untuk peserta Program Peserta Dokter Spesialis (PPDS). Agar mereka dapat beroperasi sebagai dokter umum. Langkah ini diambil untuk membantu mengurangi tekanan finansial para peserta. Sebagai bagian dari usaha untuk memperbaiki pendidikan dengan cara yang lebih terstruktur dan efektif.
“Umumnya, dokter spesialis ini sudah memiliki keluarga. Mereka juga sudah bekerja sebelumnya. Sekarang, mereka harus menjalani program pendidikan spesialis tanpa mendapatkan gaji, sehingga beban keuangan mereka sangat besar,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, ANGKARAJA, Senin.
Dalam konferensi pers yang diadakan bersama Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Budi menyoroti salah satu masalah yang dilaporkan yakni selain tidak menerima penghasilan, banyak peserta yang juga harus membayar berbagai biaya.
SIP ini merupakan langkah untuk menyamakan standar dengan program PPDS di luar negeri, di mana peserta tidak perlu mengeluarkan biaya, melainkan bisa mendapatkan uang untuk mendalami bidang mereka.
Dengan adanya SIP, jelasnya, peserta dapat berpraktek sebagai dokter umum dan memperoleh pendapatan, baik saat berada di rumah sakit tempat mereka belajar maupun selama waktu luang mereka.
“Oleh karena itu, penting untuk mengatur jam kerja peserta PPDS, agar mereka dapat menjalankan tugas sebagai dokter umum di rumah sakit pendidikan dengan SIP, bukan hanya sebagai PPDS, melainkan juga sebagai dokter umum sehingga mereka bisa mendapatkan imbalan,” katanya.
Dia menekankan banyaknya keluhan terkait pekerjaan di luar jam kerja reguler sebagai bentuk pelatihan mental, dan menurutnya hal ini sudah berlebihan. Beban kerja yang tinggi, menurutnya, bisa menjadi tekanan bagi kesehatan mental peserta didik.
Dia menjelaskan bahwa jika seorang peserta PPDS bekerja lebih dari jam yang ditentukan dalam sehari, mereka harus mendapatkan waktu istirahat pada hari berikutnya.
Dalam acara yang sama, Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Azhar Jaya menjelaskan bahwa batas waktu kerja yang ditetapkan adalah 80 jam dalam seminggu, dan tidak boleh lebih dari itu. Meskipun begitu, kata Azhar, ini tidak berarti bahwa peserta harus selalu bekerja selama 80 jam tersebut.
“Kita sebagai manusia normal dan dewasa, biasanya membutuhkan waktu istirahat sehari sekitar 5-6 jam untuk tidur. Jika mereka istirahat dengan baik, bisa mencapai delapan jam tidur. Maka, angka 80 jam masih memberikan kesempatan untuk mendapatkan waktu istirahat yang cukup, sehingga keselamatan pasien tetap terjamin,” ujar Azhar.
Dia menambahkan bahwa salah satu alasan penetapan waktu kerja tersebut adalah untuk memungkinkan peserta belajar dari kasus menarik yang muncul di luar jam kerja sehari yang ditetapkan, jadi mereka bisa dipanggil untuk melihat dan mempelajarinya bersama. Ini, katanya, bisa mempercepat proses belajar.
Namun, ia menegaskan bahwa waktu kerja tetap dibatasi pada maksimal 80 jam seminggu, demi menjaga kesehatan peserta serta memastikan keselamatan pasien.