Kota Gaza, Palestina – Di tempat pengungsian Khan Younis yang terletak di Gaza selatan, sejumlah ibu Palestina sedang membuat Kaak. Kue khas Idul Fitri, dalam harapan untuk memberikan sedikit kebahagiaan kepada anak-anak mereka. Meskipun serangan militer Israel masih berlangsung sejak 18 Maret 2025.
Di dalam kesedihan yang mendalam, kehilangan rumah, serta mereka yang terkasih, para ibu berupaya menciptakan saat-saat bahagia sekecil apa pun untuk buah hati mereka. Mereka berusaha melindungi anak-anak dari kesulitan yang semakin meningkat akibat penutupan perbatasan oleh Israel.
Pada tahun ini, Idul Fitri, perayaan yang menandai berakhirnya bulan suci Ramadan, tiba di saat Gaza menghadapi krisis kemanusiaan dan ekonomi yang semakin parah, seiring dengan meningkatnya serangan Israel.
Idul Fitri dua menjadi salah satu hari raya besar dalam agama Islam, bersanding dengan Idul Adha.
Sejak 2 Maret 2025, Israel telah mengaktifkan blokade total di Jalur Gaza dengan menutup semua perbatasan, yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan, medis, dan logistik darurat.
Kondisi pasar sangat memprihatinkan, banyak yang kosong, sedangkan barang yang tersisa harganya melonjak tinggi, yang menyebabkan warga Palestina, yang semakin terpuruk akibat perang, mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Minggu lalu, Kantor Media Pemerintah Gaza menyatakan bahwa wilayah tersebut telah memasuki fase pertama kelaparan akibat blokade yang berkepanjangan dan terhambatnya bantuan yang menyelamatkan jiwa.
Semangat untuk Bertahan
Di tengah segala keterbatasan, Kawthar Hussein duduk di dekat tungku dari tanah di sudut tempat pengungsian, berusaha menyalakan api untuk memanggang kue Idul Fitri, sementara serangan artileri Israel terus menghujani daerah sekitarnya di Jalur Gaza.
Karena blokade yang menghalangi akses gas untuk memasak, para perempuan di tempat itu terpaksa menggunakan karton dan kayu sebagai bahan bakaran untuk memasak, sebuah metode yang melelahkan dan memakan waktu.
Meskipun udara dipenuhi asap, Hussein tetap fokus menyusun adonan kue di atas nampan sebelum proses memanggang dimulai.
“Keadaan di sini sangat menyedihkan. Kami telah kehilangan banyak saudara dan orang tercinta serta berjuang melalui krisis kemanusiaan yang sangat berat,” katanya.
“Kami adalah masyarakat yang menghargai kehidupan. Kami tidak ingin anak-anak kami hidup dalam kekurangan. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka walaupun itu hanya sedikit,” ungkap Hussein kepada Anadolu.
Sebelum konflik, ia biasanya membuat sekitar 9 kilogram kue untuk Idul Fitri. Namun kali ini, ia hanya mampu membuat 1 kilogram, demi memberikan sedikit keceriaan bagi anak-anak yang terdampak perang.
Meskipun duka menyelimuti, ia percaya bahwa merayakan Idul Fitri adalah salah satu “syiar Allah yang perlu dihidupkan kembali. ”
Secercah Kebahagiaan di Tengah Perang
Umm Mohammed, seorang ibu Palestina, juga berusaha menciptakan suasana Idul Fitri untuk anak dan cucunya dengan membuat kue untuk mereka.
“Kami berhasil membuat sedikit kue agar anak-anak bisa merasakan kembali ritual Idul Fitri yang mereka lewatkan di tengah tragedi ini,” katanya kepada Anadolu.
“Kesedihan menyelimuti mereka. Kami mencoba menghibur anak-anak dengan memberikan satu kue untuk setiap anak. Itulah yang dapat kami lakukan,” tambahnya.
Pada 18 Maret, tentara Israel melancarkan serangan udara secara tiba-tiba ke Gaza, yang mengakibatkan 896 orang meninggal dan hampir 2. 000 lainnya terluka, menghentikan gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan.
Sejak Oktober 2023, serangan Israel telah merenggut lebih dari 50. 200 nyawa warga Palestina—mayoritas merupakan perempuan dan anak-anak—serta melukai lebih dari 114. 000 orang, menurut laporan otoritas kesehatan setempat.
Pengadilan Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan perintah penangkapan untuk pemimpin Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya Yoav Gallant pada bulan November tahun lalu. Mereka dituduh melakukan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia di Gaza.Di samping itu, Israel juga sedang menghadapi tuntutan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ) sehubungan dengan perang yang mereka jalankan di daerah itu.